https://tik.ft.unm.ac.id/bni4d/ https://tik.ft.unm.ac.id/shopify/slot888/

Talkshow "Dating Violence, Mitos atau Realita?"

By: Admin | Diposkan pada: 24-05-2019

Kasus kekerasan dalam pacaran mungkin jarang kita dengar dibanding kasus kekerasan dalam rumah tangga. Apalagi jika kasus kekerasan itu menimpa kaum difabel. 

Melihat fenomena tersebut, Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (Dema FH UCY) menggandeng Yayasan Sahabat Anak, Perempuan, dan Keluarga (SAPA) melalui Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) SAPA untuk bekerjasama delam melaksanakan seminar sehari yang mengupas tentang "Dating Violence, Mitos atau Realita?"

kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber yaitu: Dra. Titik Muti’ah, MA., Ph.D (Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sarjawiyata Tamansiswa sekaligus Konselor Psikologi PKBH SAPA), Ramadhany Rahmi, SIP (Pendamping Penyitas Perempuan dan Juru Bahasa Isyarat), dan Andrie Irawan, S.H., M.H (Dosen Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta sekaligus Advokat dan Direktur PKBH SAPA)

Pendamping penyintas perempuan dan juru bahasa isyarat, Ramadhany Rahmi yang menjadi narasumber pertama menceritakan bagaimana pengalamannya sebagai pendamping penyintas perempuan pada pacaran dalam lingkaran komunitas remaja tuli. Banyak hambatan serta tantangan yang dihadapinya. 

"Salah satunya adalah keterbatasan pemahaman penyandang tuli dalam mengintepretasikan sesuatu. Sehingga pendamping maupun juru bahasa isyarat lainnya harus secara perlahan menjelaskan serta juga detail," katanya.

Tidak hanya itu, Ramadhany Rahmi juga menjelaskan bahwa sebenarnya dalam komunitas teman tuli, istilah yang mereka gunakan untuk menyebutkan keadaan diri mereka bukanlah penyandang disabilitas tuna rungu, akan tetapi tuli yang lebih ramah bagi mereka.

Hal itu berkenaan dengan makna tuna dalam Bahasa Indonesia yang diartikan sebagai rusak dan makna negatif lainnya

Titik Muti'ah memaparkan bahwa ada beberapa ciri-ciri awal seseorang dapat menjadi seorang pelaku kekerasan dalam pacaran, yaitu adanya sikap cemburu buta, pengekangan, serta menunjukkan sikap sering mengatur terhadap pasangannya.mHal tersebut bisa dikarenakan adanya kekosongan pemahaman pelaku terhadap definisi cinta itu sendiri.

Dia juga menyampaikan sebaiknya  remaja harus mulai menggali lagi, sebenarnya cinta yang murni adalah cinta yang ia dapat pertama kali, yaitu cinta dari orang tuanya. Maka remaja harus mampu mengidentifikasikan bahwa yang menyakiti bukanlah cinta.

Dia juga menjelaskan mengenai siklus kekerasan dalam pacaran terjadi, dimulai dari fase bulan madu, yaitu hubungan terlihat masih baik-baik saja. Berlanjut pada fase ketegangan, yaitu fase hubungan yang mulai muncul perdebatan dan pertengkaran.

Fase ketiga adalah fase terjadinya kekerasan yaitu salah satu pasangan melakukan kekerasan terhadap lainnya. Kemudian fase penyesalan atau permohonan maaf. Siklus tersebut akan selalu berulang, ajeg, dan sangat mudah ditebak. 

"Maka, jika di antara mahasiswa merasa dalam hubungannya sudah menunjukkan gejala seperti itu, sebaiknya dipikirkan kembali, apakah hal tersebut patut dipertahankan atau tidak. Karena, sorry is not enough," katanya.

 

Andrie Irawan mengupas mengenai kekerasan dalam pacaran dilihat dari aspek hukum. Menurutnya, ada beberapa bentuk kekerasan, seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis atau emosional, kekerasan seksual, serta kekerasan ekonomi. "Cukup sulit untuk menjelaskan konsep adanya penipuan maupun bujuk rayu dan kebohongan kepada teman tuli pada kasus tersebut. Karena konsep itu dianggap asing oleh teman-teman tuli," kata Dosen yang juga Advokat dan Direktur PKBH SAPA ini.

 Andrie juga mengemukakan kecenderungan para penyintas kekerasan dalam pacaran, yaitu adanya Stockholm syndrome, yaitu ketidakmampuannya (penyintas) melepaskan diri dari pelaku dengan alasan emosional.

Kegiatan ini memang mengupasnya dalam berbai aspek karena penangan kekerasan dalam pacaran yang merupakan salah satu jenis kekerasan berbasis gender, perlu penanganan lintas pihak. Acara ini juga dihadiri oleh mahasiswa hukum dan umum se DIY, lembaga pengadaan layanan baik dari pemerintah maupun masyarakat, lembaga bantuan hukum, aparat penegak hukum dan komunitas penggiat isu perempuan dan anak, serta dihadiri juga oleh para teman-teman tuli yang tentunya dalam acara ini disediakan penerjemah juru bahasa isyaratnya.

Talkshow ini merupakan agenda rutin akhir tahun dari SAPA, sekaligus juga digelar menyusul rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang puncaknya di diselenggarakan pada 10 Desember lalu. Acara ini juga sebagai gerakan solidaritas bersama untuk mendukung agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan. Hadir dalam acara tersebut Dekan Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Iin Suny Atmadja, SH., MH yang juga membuka acara.

Berita terkati dapat di kilik disini:
sindonews
jogjapaper.net
krjogja