PEMIKIRAN KEGAMAAN RA. KARTINI

By: Admin | Diposkan pada: 02-05-2019

I. PENDAHULUAN

Clifford Geertz seorang peneliti dari Universitas Berkeley telah membuat klasifikasi masyarakat Jawa berdasar pada tipe kebudayaan menjadi tiga kategori agama yaitu abangan, santri dan priyayi.1).Para pengamat dan masyarakat pada umumnya menilai bahwa RA. Kartini yang lebih suka dipanggil Kartini, berasal dari komunitas priyayi, karena memang dia lahir dari keluarga birokrat saat itu yaitu putra bupati Jepara. Dari jalur ibundanya RA. Ngasirah, ia sebenarnya berasal dari keluarga santri. Karena kakek dari ibu adalah seorang guru agama. Guru agama pada masa itu masih langka dan dipandang sebagai tokoh masyarakat yang cukup disegani.

Kartini dikenal dari tulisan-tulisannya yang sebagian besar berupa surat-surat yang ia kirimkan kepada sahabat-sahabatnya di Batavia dan negeri Belanda. Surat-surat tersebut dikumpulkan, disusun dan diatur secara kronologis oleh Mr. JH. Abendanon, bekas Direktur Departemen Pengajaran Hindia Belanda. Surat-surat tersebut diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Door Duisternis Tot Licht (DDTL).2). Dari tulisan-tulisannya dapat difahami pemikiran-pemikirannya yang sangat progresip, berani berhadapan dengan tradisi dan pemerintah Belanda pada masa itu. Pemikiran-pemikirannya terkait dengan berbagai aspek. baik yang berhubungan dengan kaum perempuan, politik, sosial, pendidikan maupun pemikiran keagamaan. Diantara butir-butir pemikirannya yang brilian, terdapat pemikiran kritis tentang masalah-masalah keagamaan; yang merupakan respons terhadap praktek-praktek keagamaan yang didominasi oleh adat dan cenderung diskriminatif terhadap kaum perempuan. Di samping itu perkembangan pemikiran keagamaannya sangat dipengaruhi oleh perkembangan kejiwaannya dan tantangan-tantangan yang dihadapi dalam sejarah kehidupannya; pengaruh pemikiran ibundanya yang sederhana, bijaksana dan relijius serta para sahabatnya yang cukup modernis dan relejius pula.

Tuliasan ini berusaha mengangkat pemikiran dan penghayatan keagamaan Kartini – yaitu pemikiran-pemikirannya yang kritis dan progresip. berkaitan yang dengan ajaran-ajaran Tuhan- Juga tulisan ini mencoba mengangkat faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan pemikirannya. Sebelumnya akan disajikan biografi Kartini dengan latar belakang keluarga, pendidikan dan kondisi masyarakat serta peran dinamis Kartini dalam perjuangan maupun kemasyarakatan.

II. BIOGRAFI KARTINI.

A. Latar Belakang Keluarga Kartini.

Raden Ajeng Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879( 28 Rabingulakir 1808), wafat pada tanggal 17 Sepetember 1904 (7 Rejeb 1834). Ia lahir dari keluarga ningrat putra R.M.A.A. Sosroningrat, Bupati Jepara, putra Pangeran Ario Tjondronegoro IV, Bupati Demak. . Ibunya, Mas Ajeng Ngasirah yang berasal dari kalangan rakyat biasa, putra Kyai Haji Madirono seorang guru agama terkenal di desa Telekawur, Jepara dan Nyai Haji Siti Aminah, juga dari desa Telukawur. Ibu Kartini dinikahi oleh ayahnya pada tahun 1872 ketika ia masih berpangkat Wedana di Mayong. Kemudian, masih dalam kedudukannya sebagai Wedana, pada 1875 sang ayah kawin lagi dengan seorang putri bangsawan tinggi, yang menurut Kartini adalah keturunan langsung Raja Madura yaitu Raden Ajeng Woerjan atau Moerjam, putri R.A.A. Tjitrowikromo, Bupati Jepara sebelum Sosroningrat.3). Istri yang kedua kemudian diangkat menjadi “garwa padmi” atau “Raden Ayu” dan Gusti Putri yang keluar sebagai First Lady; sedang Mas Ajeng Ngasirah mendapat kedudukan ‘garwa ampil. ”4). Urusan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab M.A. Ngasirah. Beliau sangat keras dalam mendidik putra-putrinya, termasuk pendidikan agama.

R.M.A.A Sosroningrat memiliki 11 putra dari dua istri. Dari garwa ampil lahir 8 putra putri dan 3 putra putri dari garwa padmi. Semuanya bergelar Raden Ajeng bagi anak perempuan dan Raden Mas bagi anak laki-laki.

Ayah Kartini berpandangan progressip, mewarisi sikap ayahnya, sebagai Bupati Demak. Sebelum wafatnya beliau telah meninggalkan pesan kepada putra-putrinya bahwa “ tanpa pengetahuan kalian kelak tidak akan bahagia dan dinasti kita akan makin mundur. “. Semua anak-anaknya disekolahkan, baik putra maupun putri. Meskipun ada perbedaan dalam tingkatan pendidikan. Kartini dan saudara-saudaranya dimasukkan diEuropeseLagereSchool–meskipun muridnya hampir semuanya anak-anak Belanda Indo-. Anak-anaknya yang laki-laki melanjutkan sekolahnya di HBS Semarang dan ke negeri Belanda. Perlu diketahui bahwa pada masa itu, tradisi masyarakat Jawa memandang tidak etis menyekolahkan anak-anak perempuan bersama-sama dengan laki-laki Indo Belanda.

Mencermati latar belakang keluarga Kartini dapat difahami bila Kartini memiliki potensi unggul untuk dapat dikembangkan menjadi pribadi yang berkualitas. Realisasi perkembangannya sangat dipengaruhi pleh lingkungan kehidupannya, pendidikannya maupun dinamika aktifitas-aktifitasnya..

B. Tahapan Perkembangan Dalam Kehidupan Kartini.

Dalam psikologi perkembangan, seorang anak manusia mengalami proses perkembangan melalui fase-fase tertentu dengan tugas-tugas perkembangan yang harus dilaluinya. Menurut Havighurts, seperti dikutip oleh Siti Rahayu Haditono, tugas-tugas perkembangan atau development task itu merupakan tugas-tugas yang harus dilakukan seseorang dalam masa-masa hidupnya, sesuai dengan norma-.norma masyarakat dan budaya yang ada. Ia membagi tugas-tugas perkembangan itu menjadi tujuh tahapan yaitu masa bayi dan anak kecil, masa anak, masa sekolah, masa muda (pubertas), masa dewasa muda , usia tengah baya dan masa dewasa lanjut. 5).

Seseorang dituntut menyelesaikan tugas-tugas perkembangan itu secara bertahap. Bila ia berhasil menyelesaikan tugas-tugas perkembangan pada masanya, ia akan merasa berhasil. Sebaliknya bila ia gagal menyelesaikan tugas-tugas tertentu karena prinsip yang berbeda dengan budaya masyarakat, ia akan menghadapi masalah dalam hidupnya dan tugas-tugas selanjutnya akan tertunda, atau merasa tidak bahagia. Namun bila ia mampu mengatasi tantangan tradisi, ia akan berhasil melewati tugas-tugas tersebut dan perkembangan pribadinya pada tahap berikutnya dapat ditunaikan dengan sempurna.

Dalam sejarah kehidupan Kartini, nampak terjadi variasi yang cukup dinamis dan kadang-kadang banyak tantangan yang dihadapinya baik dari kalangan keluarga, teman-temannya maupun masyarakat. Dengan perjuangan yang gigih dan keyakinan yang kuat ia mampu mengatasinya meskipun berbeda dengan impian-impiannya.

Dalam kehidupannya, Kartini seperti anak-anak perempuan masa itu, mengalami masa-masa kehidupan sejak masa bayi dan anak kecil, masa anak, masa sekolah, masa pingitan dan masa pernikahan atau berkeluarga.

1. Masa Bayi dan kanak-kanak.

Masa bayi dan kanak-kanak dilaluinya dengan gembira. Pertumbuhan fisiknya lebih cepat dari anak-anak sebayanya. Ia dirawat oleh para baby sitter kawedanan yang bekerja dengan ketulusan dan dedikasi tinggi. Seperti tradisi Jawa pada umumnya, ketika sudah belajar berjalan (usia delapan bulan) dilakukan upacara tedak siten.6). Pada masa bayi dan anak, sudah nampak sifat-sifatnya yang cerdas, mempunyai inisiatif sendiri, bebas, berani dan dinamis.

2. Masa Sekolah.

Memasuki masa sekolah, oleh ayahnya, ia dan kemudian adik-adiknya dimasukkan sekolah yaitu di EuropeseLagereSchool(Sekolah Rendah Belanda). Pada sore harinya mendapat pelajaran menyulam dan menjahit dari seorang nyonya Belanda, membaca al-Qur’an dari seorang guru agama wanita dan pelajaran bahasa Jawa dari seorang guru, Pak Danu. Di antara ketiga pelajaran tambahan itu, yang paling tidak disukainya ialah pelajaran membaca al-Qur’an. Mereka tidak mengerti bahasa Arab dan mereka bertanya kepada gurunya. Tetapi pertanyaan-pertanyaan mereka membuat bu guru marah. Bila bu guru marah, anak-anak disuruh keluar dari tempat belajar dan dilaporkan kepada ibunya, karena anak-anak itu tidak mau menurut kepadanya. Mendengar laporan itu, anak-anak dimarahi oleh ibunya, karena beliau sangat keras dalam hal agama. Hanya ayah mereka yang dapat memahaminya. Anak-anak itu masih terlalu muda untuk memahami pelajaran yang sulit itu. Setelah anak-anak itu menjadi lebih besar, mereka juga lebih mudah dapat membaca dan mengerti isi al-Qur’an.7).

Di kelas, Kartini merupakan satu-satunya murid pribumi diantara anak-anak Belanda dan Belanda Indo. Meskipun demikian ia bicara bahasa Belanda dengan lancar. Karena di rumahnya, ayahnya banyak memberikan bimbingan dan memberikan majalah dan buku-buku berbahasa Belanda. Ia juga suka berlatih bahasa asing itu sambil bermain-main. Di sekolah ia termasuk yang paling maju dan paling cerdas. Ia mampu bersaing dengan anak-anak Belanda dan Belanda Indo. Pernah ketika sekolahnya didatangi seorang inspektur Belanda, ia menyuruh anak-anak membuat karangan dalam bahasa Belanda. Hasilnya, karangan Kartinilah yang paling bagus diantara semua karangan yang telah diperiksanya selama berkeliling di daerah inspeksinya. Di Sekolah, Kartini juga pernah mendapat perlakuan diskriminatif, karena gurunya yang bermental kolonial tidak rela memberi nilai terbaik pada anak pribumi.

3. Masa Pingitan.

Setelah nenyelesaikan sekolah di Europese Lagere School, ia tidak diperkenankan melanjukan sekolah ke HBS di Semarang seperti kakaknya yang laki-laki; tetapi mengikuti tradisi Jawa bagi anak perempuan yaitu memasuki masa pingitan. Pada tahun 1892, ketika berusia 12 1/2 tahun, ia memulai hidupnya dalam tembok pingitan –yang menurut adat sebagai masa menunggu sampai tiba saatnya menikah. Ia harus meninggalkan segala apa yang menyenangkan di sekolah. Ia sangat sedih karena harus menghentikan pelajarannya; padahal ia sangat suka belajar. Ia harus belajar setamat sekolah rendah. Ia juga tidak mau kalah dengan kawan-kawannya bangsa kulit putih yang dapat kembali ke Eropa untuk studi lanjut; juga tidak mau kalah dengan kakaknya laki-laki yang melanjutkan ke HBS di Semarang. Meskipun ia telah berusaha meyakinkan ayahndanya agar dapat melanjutkan sekolah; namun beliau yang masih terikat tradisi –meskipun berpendidikan modern- tetap memasukkannya ke tembok pingitan.8).

Meskipun dengan berat hati , ia jalani juga masa itu. Ia mengisinya dengan membaca, merenungkan kondisi kaumnya serta adat feodal yang membelenggunya dalam bentuk tulisan, yang ia kirimkan pada teman-teman penanya diBataviamaupun negeri Belanda. Dari kamar pingitan itulah ia mulai mengerti adat feodal, poligami dan kawin paksa, kebodohan perempuan dan egoisme pria yang merupakan sumber semua derita. Dari kamar itulah muncul pemikiran revolusioner, feminisme dan nasionalisme yang kadang bernuansa religi dari gadis kecil yang ada di pedalaman Jawa.

4. Masa Keluar Dari Pingitan.

Setelah mengalami masa pingitan + 4 tahun, ayahandanya ingin menyenangkan putri-putrinya. Pada tahun 1896, beliau mengajak tiga serangkai ikut ke desa Kedungpenjalin untuk menghadiri peresmian sebuah gereja Protestan yang merupakan pos dari misi Zending di daerah Jepara. Masa-masa itu banyak memberikan pengalaman baru dan membuka wacana pemikirannya yang memberi pengaruh kuat dalam jiwa Kartini. Ia dapat bergaul kembali dengan sahabat-sahabatnya, dapat memahami kebiasaan dan peribadatan komunitas yang berbeda keyakinan agamanya serta memperoleh kebebasannya secara berangsur-angsur. Kartini juga melihat dari dekat potensi dan kesulitan rakyat desa Belakanggunung dalam bidang seni ukir. Ia berusaha mengangkat mereka, meningkatkan kualitas kerajinan dan memasarkan kerajinan ukir Jepara sampai ke luar negeri. Ia berupaya mengirimkan hasil ukir dan kerajinan batik ke Pameran lukisan di Den Haag pada tahun 1898. Kecintaan Kartini kepada rakyat ternyata membawa kearah kesadaran berbangsa.: 9).

Semangatnya untuk studi lanjut terus bergejolak dalam diri Kartini. Ia terus berusaha mencari jalan keluar untuk mendapat kesempatan itu. Rencana sekolahnya diBataviadiajukan secara resmi oleh Kartini kepada Gubernur Jendral pada tanggal 19 Maret 1901. Permohonan itu disetujui. Ayahnyapun telah merestuinya. Namun pada akhirnya rencana itu gagal karena pada akhirnya ayahnya sendiri mencabut restu tersebut, untuk menghargai pendapat teman beliau dan pandangan masyarakat pada umumnya. Dengan perasaan sock, Kartini menerima kenyataan itu diiringi konflik batin antara menyalahkan diri, ayahnya dan masyarakat.

Gagal sekolah diBataviatidak mematahkan semangat Kartini melanjutkan sekolah. Melalui sahabatnya Stella dan Van Kol – seorang anggota Parlemen Belanda dari Partai Demokrat- ia mendapat peluang sekolah ke negri Belanda. Ayah bundanya mengijinkannya. Namun impian inipun dibatalkan sendiri karena pengaruh Ny. Abendanon yang sangat lihai membujuk Kartini dengan pendekatan dari hati ke hati.

Kegagalan demi kegagalan telah memperkaya pengalaman batin Kartini dan membentuk pribadinya menjadi pribadi seorang perempuan yang berjiwa besar, intelek, memiliki kemandirian dalam bersikap serta kedalaman penghayatan nilai-nilai religious. Sosok itulah yang nampak dalam sikap Kartini memasuki jenjang perkawinan yang tidak diimpikannya –karena dianggap akan membelenggu cita-citanya-.

5. Masa Pernikahan dan Hidup Berkeluarga.

Keputusan untuk menikah bukan karena tekanan tetapi keluar dari kesadaran dan pertimbangan yang cermat. Ia yakin bila calon suaminya Raden Mas Adipati Ario Djojodiningrat, bupati Rembang adalah seorang yang berpandangan modern meskipun seorang duda yang ditinggal wafat istrinya. Kartini menikah pada tanggal 8 Nopember 1903 di Jepara dengan upacara yang sangat sederhana tanpa pesta. Tiga hari kemudian, pada tanggal 11 Nopember 1903 ia diboyong ke Rembang untuk mengawali hidup baru sebagai istri dan ibu dari putra-putri suaminya dengan almarhum istri pertamanya.

Untuk perkawinannya itu ia mengajukan syarat yang cukup progresif dan telah disetujui suaminya. Pertama, tidak akan diadakan upacara berlutut dan menyembah kaki mempelai pria. Kedua, ia akan bicara dalam bahasa Jawa ngoko –kasar- dengan suaminya, untuk menunjukkan bahwa seorang istri itu sederajat serta saudara seperjuangan dari suaminya.

Di Rembang, belum banyak yang diperbuat Kartini untuk merealisasikan cita-citanya. Karena waktu yang merenggutnya. Ia hanya satu tahun menikmati impian kebebasannya di Rembang bersama suami dan anak-anak peninggalan almarhum istri pertama suaminya.. Ia juga sempat mengajar gadis-gadis memasak. Pada tanggal 17 Sepetember 1904, ia wafat setelah melahirkan putra pertamanya, dengan meninggalkan idealisme kemandirian dan kebebasan.

C. PERAN DINAMIS KARTINI.

Mencermati biografi Kartini, nampak sosok ideal seorang perempuan pada masanya yang berjiwa kuat, dinamis, bersikap mandiri, berwawasan luas dengan intelektualitas tinggi, berpikiran modern, memiliki kepekaan sosial dan jiwa nasionalisme serta rasa religiousitas yang mendalam.

Adabeberapa peran dinamis Kartini yang telah dimainkanya al. :

Pertama, Kartini sebagai pelopor pergerakan wanitaIndonesia.

Kepeloporannya diakui dalam memperjuangkan emansipasi wanita dalam arti pembebasan diri melawan adat, kekolotan, kebodohan dan keterbelakangan.10). Kepeloporannya juga ditanggapi secara kritis oleh sejarawan dari Sumatra Barat, Tamar Djaya yang membandingkannya dengan kepeloporan pejuang wanita dari Kota Gadang. Keduanya hidup sejaman dengan beberapa kemiripan peran dinamisnya dalam pergerakan maupun kemasyarakatan. 11)

Kedua, Kartini . sebagai intelektual.

Profil Kartini mewakili profil intelektual perempuan Indonesiapada awal abad 20. Seorang .perempuan priyayi yang terkungkung kokoh dalam kisi-kisi keputren Jawa, mampu datang dengan ide-ide dan harapan yang cemerlang mengenai masa depan kaumnya. 12).

Ketiga, Kartini sebagai pendidik.

Dalam buku-buku sejarah pendidikan Indonesia, nama Kartini masuk dalam salah satu tokoh pendidik perempuan. Pemikirannya tentang pendidikan dan pendidikan perempuan cukup progresif pada masanya. Ia berpikir perlunya pendidikan ilmu pengetahuan dan pendidikan budi pekerti, dilakukan secara bersama. Karena pendidikan budi pekerti merupakan pendidikan paling awal, ia menjadi tanggung jawab kaum ibu. Dengan sendirinya kaum ibu perlu diperdayakan melalui pendidikan. Untuk mendukung terwujudnya kemandirian kaum perempuan juga perlu diberikan pendidikan kejuruan.13). Peran pendidiknya nampak ketika ia mendirikan Sekolah Gadis –yang merupakan sekolah gadis Jawa pertama di Jawa- pada bulan Juni 1903. Mula-mula muridnya hanya satu, beberapa hari kemudian bertambah menjadi 5, dan pada tgl. 4 Juli 1903 sudah mempunyai 7 murid. Bahkan ada putri seorang jaksa dari Karimunjawa yang harus dipondokkan di kota Jepara. Kenyataan itulah yang mendasari ide sekolah model Kostschool 14)..

Keempat, Kartini sebagai wartawati.

Bakatnya menulis sebenarnya sudak nampak sejak masa sekolah. Kemampuannya menulis berkembang pada masa pingitan. Keahliannya juga didukung oleh banyaknya bacaan yang dibacanya dari majalah maupun buku-buku berbahasa Belanda. Pada tahun 1895 ia menulis sebuah karangan dalam bahasa Belanda dengan judul Het Huwelijk Bij De Kodjas (Upacara Perkawinan Pada Suku Kodja). Oleh ayahnya, tulisan itu dikirim ke negeri Belanda; baru pada tahun 1898 tulisan itu dimuat sebagai Bijdrage TCV yang dibaca kaum intelektual. Sesudah itu, muncul karangan yang dimuat dalam majalah De Echo dengan nama samaran Tiga Serangkai.15).

Kelima, Kartini sebagai pekerja sosial.

Kepekaan sosialnya telah dibina ayahandanya sejak masa kanak-kanak dengan diajak melihat realitas kehidupan dan penderitaan rakyat. Dengan didukung semangat nasionalismenya yang tinggi ia telah berusaha membantu para pengrajin ukir dan batik di Jepara untuk meningkatkan kualitas karya dan hidupnya. Ia berusaha membimbing mereka, memberikan modal kerja serta memikirkan pemasaran produksinya. Usaha pemasarannya ia lakukan dengan mencari pelanggan dan mengikut sertakan pada pameran di negeri Belanda.

Keenam, Kartini sebagai pemikir kegamaan.

Kartini lahir sebagai muslimat, hidup dan meninggal dalam keadaan muslim. Ia bukan seorang ulama. Pengetahuan agamanya juga tidak mendalam; namun ia sangat kritis terhadap praktek-praktek keagamaan masyarakat yang masih bercampur dengan adat. Ia juga kritis terhadap pemikiran dan praktek kegamaan teman-temannya yang menganut agama yang berbeda.

III. PEMIKIRAN KEAGAMAAN KARTINI.

Adadua hal yang diangkat dalam bab ini, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran keagamaannya dan butir-butir pemikiran keagamaannya.

A. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran keagamaan Kartini.

Biografi Kartini menunjukkan ada banyak faktor yang mempengaruhi kehidupannya termasuk pemikiran keagamaannya. Faktor-faktor dimaksud al.

1. Faktor keluarga.

Ayahnya seorang ningrat Jawa yang berpikiran progresif dan eyangnya, bupati Demak, seorang tokoh yang dibanggakan Kartini sebagai pelopor modernisasi. Paraleluhurnya, baik dari garis ayah maupun ibu adalah para penganut Islam yang tidak pernah mengingkari agama tersebut. Lingkungan kotaDemak sebagai kotaIslam bersejarah sedikit banyak mempengaruhi pola pikir Kartini. Pada kesempatan sowan eyangnya di Demak ia berkesempatan bertemu dan berdialog dengan para sesepuh yang berpandangan bijak dan memiliki kekayaan rohani. Ibundanya, M.A. Ngasirah, putra dari guru agama di desa Telukawur Jepara, sangat keras dalam pendidikan agama. Beliau mengundang ibu guru agama untuk mengajar al-Qur’an kepada tiga serangkai. Meskipun anak-anak merasa terpaksa, pendidikan masa kecil itu besar pengaruhnya. Menurut Noto Soeroto yang dikutip Th. Sumartana, bahwa pengaruh pendidikan yang diperoleh dalam keluarga, menumbuhkan kesadaran kegamaan dalam diri Kartini yang ditandai oleh iman yang tak tergoyahkan.16).

2. Kondisi keberagamaan masyarakat.

Kondisi keberagamaan masyarakat yang masih sederhana dan bercampur dengan adat-adat Jawa, menyebabkan penafsiran dan pengamalan ajaran agama terasa kaku, dan kadang-kadang menyimpang dari prinsip dasar ajaran agama. Dalam pandangan Kartini, adat bukan ketentuan Ilahi yang tidak dapat diubah. Adat dapat berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Baginya, adat seperti pakaian yang dapat ditukar dengan yang baru, sesuai selera pemakainya. Bahkan adat tidak akan mempengaruhi keselamatan dan kebahagiaan seseorang. Tentang adat, Kartini menulis “ Bahwa adat tidak lain dari pada kebiasaan yang dipungut. Seperti halnya pakaian lama, apabila tidak memenuhi selera kami lagi dapat saja ditinggalkan. Dan adat itu sendiri tidak ada hubungannya dengan kebahagiaan hidup “17).

3. Pengaruh teman-teman yang berlainan agama.

Teman-temannya baik di Bataviamaupun di negeri Belanda yang beragama lain dapat mengembangkan sikap tolerannsi dan menunjukkan komitmen keberagamanya.. Pandangan Kartini mengenai agama dan Tuhan mulai berkembang khususnya setelah terbuka kesempatan untuk mendiskusikannya dengan teman-teman korespondensinya, yaitu orang-orang Belanda. 18). Pengaruh pemikiran dan sikap keagamaan teman-temannya telah membuka wawasan dan daya kritisnya tentang paraktek-praktek kehidupan keagamaan bangsanya. Meskipun demikian, komitmen muslimnya tetap kuat, dan ia tetap memegang teguh keyakinan Islamnya, meskipun banyak hal yang dikritisi dan banyak bergaul dengan orang-orang yang berlainan agama. Iapun mengkritisi praktek misi Zending yang kadang berbeda dengan idealismenya.

4. Problematika kehidupan.

Problematika kehidupan yang dialaminya, yang menyangkut masalah-masalah eksistensial yang berat, baik yang terkait dengan kehidupan pribadinya, keluarga maupun masyarakat, mempengaruhi perkembangan pemikiran dan sikap keagamaan Kartini. Ia membutuhkan pijakan ruhani dan pegangan batin yang dapat memberikan dukungan dan pembenaran terhadap sikap dan pilihan-pilihannya, dalam mengatasi problema tersebut.

Sedikitnya keempat faktor itulah yang membentuk sosok Kartini dalam mengekspresikan wawasan keagamaannya.

B. Butir-butir pemikiran keagamaan Kartini.

Berikut ini butir-butir pemikiran keagamaan Kartini yang dapat dicermati melalui tulisan-tulisannya kepada para sahabat penanya.

Pertama, religious experience Kartini nampak dalam tulisan-tulisannya yang diwali dengan menyebut asma Allah dengan lafaz “Al-hamdu lillah, Allahu Akbar, Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Kuasa”. Hal ini mencerminkan religiusitas yang telah menyatu dalam dirinya. Ia nyatakan ungkapan-ungkapan itu pada sahabatnya yang berbeda agama. Kesadaran dan penghayatannya tentang Tuhan dengan segala sifat-sifat yang dimilikinya, teraktualisasikan dalam atribut-atribut serta hubungannya secara khusus dengan sesame manusia, baik pribadi maupun sosial. Keyakinan itu pulalah yang mendekatkan Kartini dengan Tuhan yang dipandangnya sebagai pribadi yang hidup, bukan dalam pengertian yang abstrak. Ekspresi kesadaran dan penghayatan keagamaannya kadang nampak dalam bentuk personifikasi sifat-sifat Tuhan, seperti yang ia tulis dalam suratnya kepada Ny. Van Kol tertanggal 21 Juli 1902 yang dikutip oleh Th. Sumartana :

Tuhan sajalah yang tahu akan keajaiban dunia, Tangan-Nya mengemudikan alam semesta. “Ada Seseorang yang melindungi kami. Ada Seseorang yang selalu dekat dengan kami. Dan Seseorang itu akan menjadi pelindung kami, tempat kami berlindung dengan aman dalam hidup kami selanjutnya.” 19).

Kedua, pemikiran keagamaan Kartini yang terkait dengan penciptaan manusia, mendasari ide-ide kesetaraan jender. Kritik tajam ia lontarkan tentang praktek-praktek kawin paksa, poligami maupun feodalisme yang sangat tidak adil terhadap kaum perempuan dan rakyat jelata. Menurutnya, Allah Yang Maha Kuasa mencipta manusia –pria dan wanita- sama derajatnya, mencipta wanita untuk menjadi pasangan pria. Konflik batin muncul ketika ia melihat praktek poligami yang ternyata disahkan oleh peraturan agama sebagai istri yang sah. Dalam masalah ini, Kartini menulis

Allah Yang Maha Esa telah menciptakan wanita untuk menjadi pasangan pria dan tujuannya memang kawin. Ia tidak dapat disangkal dan aku mengakui bahwa kebahagiaan yang tertinggi adalah hidup harmonis dengan suami. Tetapi bagaimana bisa hidup harmonis bila peraturan-peraturan pernikahan seperti sekarang ? Apakah orang tidak dengan sendirinya menjadi benci dengan perkawinan yang tidak adil terhadap wanita ? 20).

Ketiga, pemikiran Kartini tentang agama. Dalam suratnya kepada Ny. Van Kol, tertanggal 21 Juli 1902, ia menulis bahwa :

Agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali persaudaraan di antara semua makhluk Allah, berkulit putih atau coklat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau lelaki, kepercayaan semuanya kita ini anak Bapa yang Satu itu, Tuhan Yang Maha Esa.21).

Dari tulisan tersebut nampak pemikiran Kartini tentang agama yang bersifat universal. Agama mengajarkan kebaikan, membawa berkat bagi seluruh manusia, tanpa membedakan warna kulit, sex, status sosial, ras maupun bangsa. Aktualisasi agama mestinya nampak dalam sikap toleransi, saling menolong dan membantu, saling mengasihi; demikian juga kerjasama antar bangsa atas dasar kemanusiaan universal tanpa memendang perbedaan agama mestinya dapat diwujudkan. Bagi Kartini universalitas agama bukan berarti bahwa mereka dapat saling mempengaruhi keyakinan agamanya.. Dalam hal ini, ia mengkritisi praktek misi zending yang ingin mengkristenkan orang Jawa dengan dalih bakti sosial. Kepada EC. Abendanon ia menulis.

Bagaimana pendapatmu, kalau Zending tidak bertujuan mengkristenkan melainkan semata-mata berdasar kasih hanya melakukan kebajikan bagi rakyat Jawa ?. Kalau orang mau mengajarkan agama pada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Yang Maha Pengasih, Bapak semua ummat baik Kristen maupun Islam, Budha maupun Yahudi dll. 22).

Kartini juga merisaukan realitas kehidupan masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia yang dengan mengatas namakan agama, mereka justru saling menghina, membenci dan bahkan saling memusuhi. Karena kebimbangan itu, terkadang muncul keraguan tehadap eksistensi agama. Dalam suratnya pada Stalla tgl. 6 Nopember 1899, ia menulis :

Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya jika tidak pernah ada agama. Sebab agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal pertumpahan darah yang sangat mengerikan. Orang-orang seibu-sebapa ancam-mengancam berhadap-hadapan karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan yang Esa dan Tuhan yang sama. 23).

Keraguan Kartini, sebagai gejala yang wajar dalam perkembangan jiwa keagamaan; bahkan merupakan perkembangan kesadaran agama menuju kemandirian dalam beragama. Menurut Zakiah Daradjat, keraguan itu muncul karena adanya perbedaan antara nilai-nilai moral dan kelakuan orang-orang dalam kenyataan hidup. Pertentangan antara nilai-nilai agama yang mereka pelajari dengan sikap dan tindakan orang tua, guru-guru, pemimpin-pemimpin, atau penganjur-penganjur agama, sangat menggelisahkan remaja. Mungkin menyebabkan mereka menjadi benci kepada guru-guru dan pemimpin-pemimpin tersebut; bahkan dapat menyebabkan mereka acuh tak acuh atau benci kepada agama.24). Bagi Kartini, pertentangan antara nilai-nilai moral agama dalam idealita –ajaran-ajaran agama- dan agama dalam realita –praktek-praktek keagamaan-. Mengundang kerisauan dalam dirinya sekaligus daya kritisnya.

Keempat, Pemikiran Kartini tentang Tuhan.

Kartini mempunyai sahabat pena penganut agama Yahudi yang sering dipanggil Stella. Stella menyatakan bahwa Kartini beragama Islam, saya Yahudi; tetapi kami memiliki pandangan yang sama mengenai Tuhan Yang Maha Esa. Kartini menganut keyakinan monoteisme. Keyakinannya itu nampak dalam suratnya kepana Ny. Van Kol, 21 Juli 1902 “ Tiada Tuhan selain Allah , kata kami umat Islam, dan bersama-sama kami semua beriman, kaum monoteisme; Allah itu Tuhan, Pencipta alam semesta “. Selanjutnya, kepada Dr. N Adriani, pada tgl 24 September 1902ia menulis “ yang tuan namakan Tuhan, dan kami sebut Allah “25). Perkembangan pemikiran Kartini tentang Tuhan menunjukkan kematangan perkembangan jiwa keagamaannya. Dan persepsinya tentang Tuhan maupun sifat-sifat kesempurnaan Tuhan terkait dengan kondisi jiwa serta problema yang dihadapinya. Kartini sangat menekankan pada sifat Maha Kasih Sayang Tuhan, untuk menekankan betapa pentingnya gagasan tentang kasih sayang tesebut , setidak-tidaknya untuk dirinya sendiri. Menurut Ny. Abendanon keyakinan tentang Tuhan yang penuh kasih sayang sangat penting dalam pemikiran keagamaan Kartini, Setelah menyusun surat-surat Kartini ia merumuskan credo {pengakuan kepercayaan) Kartini sebagai berikut : “Saya percaya kepada Tuhan pemberi cinta kasih tak terhingga, kepada takdir yang penuh kasih sayang demi kebaikan kita”26).

Dalam mensikapi tantangan-tantangan kehidupan dan kegagalan-kegagalan impiannya, Kartini selalu mengembalikannya kepada Tuhan yang mengatur dan menebar kebaikan. Menurutnya, iman membuahkan kebahagiaan, ketentraman dan optimisme. Pernyataan menarik Kartini al. Ia tulis dalam suratnya kepada Nellie Van Kol.

Kami telah mencari-cari demikian jauhnya dan demikian lamanya; padahal yang kami cari itu demikian dekatnya ; ia ada dalam jiwa kita sendiri. …..Allah atau Tuhan bagi kami sekarang bukan omong kosong lagi. Kami tidak dapat mengatakan betapa tenang, tentram hati kami sekarang. Betapa bahagia sekarang, tiada kekhawatiran, tiada ketakutan lagi. Kami merasa begitu aman dan tenteram karena ada yang melindungi kami. Kami yakin akan hal itu. Dan memang Tuhan tidak akan memberi tugas yang terlalu berat pada ummatnya. Ia akan memberi kekuatan cukup kepada setiap manusia untuk tugas yang diberikan kepadanya. Siapakah yang mengirim sahabat-sahabat kami pada saat yang tepat, tatkala kami sedang bergulat seorang diri dan nyaris tenggelam dalam putus asa ?. Kebetulan ?. Bukan!. Semua itu sudah diatur oleh Tuhan. Sebelumnya kami masih ragu; tetapi sekarang kami telah bertekad bulat untuk melaksankan cita-cita kami apapun pengorbanannya. 27).

Mencermati pemikiran Kartini dalamsurattersebut, nampak adanya kematangan emosi dalam perkembangan jiwa keagamaannya. Hal ini sejalan dengan perkembangan jiwanya yang memasuki usia dewasa, kematangan perasaan moral keagamaan, dan persepsinya tentang Tuhan sebagai penolong moral. Ukuran moral ada dalam hati nuraninya. Hati nurani yang disinari ajaran-ajaran Ilahi, merupakan standar moral yang merefleksikan sikap konsisten dan membuahkan ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan hidup.

Kelima, pemikiran Kartini tentang kitab suci.

Pengalaman masa kecil belajar al-Qur’an tanpa mengetahui arti dan maksudnya, ia sampaikan keresahannya pada Stella. Ia menulis bahwa :

Al-Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apapun juga. Di sini tidak ada orang tahu bahasa Arab. Di sini, orang diajari membaca Qur’an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap hal itu suatu pekerjaan gila; mengajar orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya. Kalau saya mau mengenal dan memahami agama saya, maka saya harus pergi ke tanah Arab untuk mempelajari bahasanya di sana. Walaupun tidak saleh, kanboleh juga jadi orang yang baik hati ?. 28).

Kerisauan Kartini, terhadap model kajian al-Qur’an sangat beralasan. Karena sangat tidak masuk akal mempelajari al-Qur’an tanpa memgetahui terjemahan dan maknanya; meskipun mendengarkan dan membacanya sudah merupakan kebaikan. Bagaimana akan dapat mengaktualisasikan ajaran-ajaran al-Qur’an tanpa memahami maknanya. Lingkungan Kartini memang para priyayi dan teman-teman Belanda maupun Indo yang tidak mengenal al-Qur’an; sehingga kerisauan itu tidak terjawab. Karena sebenarnya pendidikan Islam telah berkembang di pesantren-pesantren yang saat itu telah tersebar di pulau Jawa bagian pesisir Utara. Meskipun metodenya masih tradisionil, pengajaran membaca dan memahami makna al-Qur’an telah dikenal di dunia pesantren.. Menurut laporan penelitian Martin Van Bruenessen tentang hasil survey Belanda terhadap pendidikan pribumi, bahwa pada tahun 1819 di daerah Pekalongan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun dan Ponorogo terdapat lembaga-lembaga yang mirip pesantren. 29).

Keenam, pemikiran Kartini tentang nilai-nilai kebaikan dan moral atau akhlak.

Nilai-nilai kebaikan itu tidak terletak pada tata lahiriyah dan pengakuan manusia, melainkan pada hakekat nilai itu sendiri secara intrinsik. Kartini melihat fungsi agama, terutama untuk memberi dasar bagi kehidupan moral masyarakat, mengasuh budi pekerti orang perorang, serta menganjurkan dan mendukung perbuatan baik. Keselamatan yang abadi, sempurna dan surgawi {ultimate) yang diinginkan oleh agama, hanya dapat diaktualisasikan secara memadai dalam tindakan, moral dan tingkah laku yang baik. 30).

Dalam hidup bermasyarakat dituntut saling memahami dan menghormati untuk mewujudkan kebahagiaan bersama. Ia menulis prinsip moraltasnya itu dalamsuratyang dikirim kepada Ny. Abendanon ;

Adaorang mengeluh bahwa orang-orang sekarang ini tidak tahu berterima kasih.—–Menurutnya, kita jangan berbuat baik karena ingin mendapat terima kasih; melainkan semata-mata karena yang kita lakukan itu baik.Di situlah kita harus mendapat kepuasan. Saya percaya bahwa cara yang paling baik untuk menjadi bahagia dan membuat hidup orang lain indah ialah mencoba mengerti sebanyak-banyaknya. Makin banyak kita mengerti, makin kurang kejengkelan dalam hati kita; makin kasih dan makin adil terhadap orang lain. Ini membuat hidup orang lain indah, lebih-lebih hidup kita sendiri. 31).

Selanjutnya, ada kritiknya tentang amalan puasa :

Orang memberi arti menurut kata-kata (letterlijk), apa yang diajarkan oleh para guru kami. Umpamanya : ajaran mengurangi tidur dan makan. Ajaran ini sekarang ditafsirkan sbb : Orang harus berpuasa dan mengurangi tidur supaya dapat kebaikan di dunia dan akherat !. Orang tak melihat gagasan besar dari ajaran itu yaitu : Tujuan hidup itu bukan makan dan tidur.32).

Komemtarnya tentang moral, memiliki makna yang sangat dalam. Ia tidak hanya memahami apa yang tersurat saja, melainkan memasuki kedalaman makna apa yang tersirat dibalik teks-teks ajaran agama tentang moral. Pemikirannya sejalan dengan tradisi Jawa yang lebih menekankan pada makna batin dalam setiap ungkapan dan nasehat-nasehatnya. Hal ini nampak nyata pada kekayaan ruhaniyah ibundanya yang senantiasa menanamkan makna batiniyah dalam setiap pesan-pesannya. Ajaran ini sejalan dengan model kajian tasawuf yang lebih menekankan pada aspek esoterik.

IV. PENUTUP.

Pemikiran Kartini tentang keagamaan muncul sebagai respon terhadap kondisi sosial budaya pada masanya serta dilema kehidupan yang dihadapi. Wawasan keagamaannya terbentuk dari berbagai komponen yang mewujudkan adanya karakteristik khas pemikiran keagamaan bercorak “Jawa-modernis”.

Dalam konteks kajian keagamaan, menarik untuk dicermati model pemikiran tersebut, untuk dapat dikembangkan dalam komunitas masyarakat yang masih kuat memegang tradisi Jawa, berpendidikan modern dan mulai aktif menunaikan ajaran-ajaran ritual keagamaan.

Pemikiran keagamaan Kartini dalam berbagai bidang kehidupan menarik untuk dikembangkan dalam konteks masa kini; dalam upaya merealisasikan hubungan kesetaraan jender, persaudaraan universal, toleransi, kajian keagamaan baik yang menyangkut teologi maupun moral; sehingga kekurangannya dapat lebih disempurnakan.

Dengan demikian akan melengkapi predikat Kartini sebagai salah satu pembaharu dalam pemikiran keagamaan pada masanya, disamping predikat klasik yang masih diperdebatkan, sebagai Pelopor Pergerakan WanitaIndonesia.

Yogyakarta, 4 April 2019.